Optimisme terhadap masa depan industri hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia kembali menguat. Pemerintah meyakini bahwa iklim investasi di sektor ini mulai bergerak menuju arah yang lebih menjanjikan, seiring dibukanya kembali opsi penggunaan skema cost recovery dalam kontrak bagi hasil. Langkah ini diyakini mampu memicu gairah eksplorasi serta meningkatkan produktivitas migas nasional.
Dalam sebuah media briefing bertajuk “Prospektivitas Migas Indonesia untuk Eksplorasi yang Atraktif dan Agresif” yang digelar Kamis (24/4) di Jakarta, Yulianto, Koordinator Pengawasan Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi dari Ditjen Migas Kementerian ESDM, menekankan pentingnya eksplorasi migas dalam menyokong kebutuhan energi nasional. Menurutnya, energi fosil masih akan mendominasi kebutuhan dalam sepuluh tahun ke depan, dan Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk tidak terjebak dalam krisis energi—asal dikelola secara optimal.
“Industri migas kita tetap menarik meski menghadapi tantangan. Pemerintah tidak tinggal diam, terus dilakukan perbaikan baik dalam regulasi maupun aspek fiskal untuk menjawab kebutuhan pelaku usaha,” jelasnya.
Meski optimis, Yulianto tetap mengingatkan bahwa daya saing Indonesia harus terus diasah, terutama jika dibandingkan dengan tawaran dari negara lain. Salah satu indikator positif, katanya, terlihat dari meningkatnya jumlah joint study yang kini mencapai 24 proyek. Ia menilai, kolaborasi yang solid antar pemangku kepentingan, termasuk dengan pemerintah daerah, menjadi kunci untuk menjaga daya tarik investasi.
Sementara itu, dari sisi SKK Migas, Kepala Divisi Prospektivitas Migas dan Manajemen Data Wilayah Kerja, Asnidar, melihat adanya ruang yang luas untuk meningkatkan daya saing. Menurutnya, peluang bisa dimaksimalkan dengan memperluas porsi bagi hasil bagi kontraktor, terutama di wilayah-wilayah frontier—daerah dengan tantangan geografis dan risiko eksplorasi tinggi seperti laut dalam.
“Kontraktor di area-area seperti itu butuh insentif yang proporsional. Biaya besar, risiko tinggi, dan akses sulit adalah faktor-faktor yang perlu dihargai,” ujar Asnidar.
Dari 128 cekungan migas yang dimiliki Indonesia, sekitar 65 di antaranya belum tersentuh eksplorasi. Potensi ini, menurut Asnidar, tidak boleh dibiarkan begitu saja. Pemerintah pun telah menyiapkan dana hingga US$ 300 juta untuk mendorong kegiatan eksplorasi di wilayah terbuka. “Saat ini adalah momentum terbaik untuk bergerak lebih agresif,” tegasnya.
Suara dari kalangan pelaku usaha pun sejalan. Ruszaidi B Kahar, Senior Manager Exploration PETRONAS Indonesia, yang hadir mewakili para anggota IPA (Indonesian Petroleum Association), menegaskan komitmen perusahaannya dalam mendukung pengembangan sektor energi nasional.
Ia menyebut bahwa keputusan untuk berinvestasi tidak hanya didasarkan pada potensi sumber daya, tetapi juga stabilitas negara, kepastian hukum, dan fleksibilitas kebijakan fiskal.
“Khusus untuk wilayah dengan risiko tinggi, kami berharap ada pendekatan fiskal yang lebih adaptif,” katanya.
Menurut Ruszaidi, posisi geografis Indonesia yang strategis dan kekayaan alam yang melimpah menjadi modal besar. Tinggal bagaimana negara ini mampu memonetisasi potensinya.
“Indonesia bisa menjadi tujuan utama investasi energi global, jika semua faktor pendukungnya bisa berjalan harmonis,” pungkasnya
Source: ruangenergi.com