17 - 20 SEPTEMBER 2025

Jakarta International Expo, Jakarta - Indonesia

Menilik Potensi Besar Energi Panas Bumi Indonesia

Menilik Potensi Besar Energi Panas Bumi Indonesia

Pekerja Pertamina Geothermal Energy melakukan kegiatan uji produksi sumur KRH-4/1 yang merupakan salah satu sumur pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Unit 1 berpakasitas 1×30 MW di PLTP Karaha Bodas, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. – Antara / Andika Wahyu.

 

Bisnis.com, JAKARTA – Sebagai salah satu negara di lingkaran cincin api, Indonesia diberkahi dengan sumber energi panas bumi melimpah hingga 23,7 gigawatt (GW). Pemerintah dan swasta pun berpacu mengembangkan pembangkit geothermal ini.

Panas bumi masuk dalam jajaran energi baru dan terbarukan. Dari potensi yang ada, kapasitas terpasang energi panas bumi di Indonesia saat ini hanya 2.175,7 megawatt (MW). Secara persentase, setara 9,2 persen dari potensinya.

Meski pemanfaatannya terbilang kecil, Indonesia menjadi negara dengan pemanfaatan energi panas bumi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS). Negeri Paman Sam mencatat kapasitas terpasang energi panas bumi 3.676 MW pada 2020.

Data ThinkGeoEnergy pada 2020 menunjukan bahwa daya terpasang energi panas bumi di dunia adalah sekitar 16 GW. Dari sejumlah negara pengembang geothermal, hanya lima negara yang mencapai daya terpasang di atas 1 GW.

Selain AS dan Indonesia, tiga lainnya adalah Filipina 1.918 MW, Turki 1.526 MW, dan Selandia Baru sekitar 1.005 MW.

Di Indonesia, pemerintah telah merumuskan pengembangan energi panas bumi melalui UU Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi. Pada Perpres Nomor 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), panas bumi juga masuk dalam perencanaan.

Dalam RUEN, pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia ditargetkan mencapai 7.241,5 MW pada 2025. Pada tahun yang sama, pemerintah membidik bauran energi bersih hingga 23 persen.

 

TERLAMBAT MENGEMBANGKAN

Namun, bidikan itu dikoreksi dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021–2030. Tambahan kapasitas PLTP direvisi menjadi  3.355 MW. Artinya kapasitas terpasang PLTP akan mencapai 5.530 MW pada 2030.

“Kita agak terlambat memanfaatkan geothermal. Padahal potensi sangat tinggi. Sesuai target pemerintah 2060 net zero emission, pemanfaatan geothermal harus aktif mulai sekarang,” katanya Direktur JSK Petroleum Academy Moch Abadi saat media training panas bumi beberapa waktu lalu.

Hingga kini, total 16 unit PLTP telah beroperasi di Indonesia. Teranyar, PLTP Sorik Marapi unit II yang dikelola PT Sorik Marapi Geothermal Power telah berproduksi pada Juli 2021 sebesar 45 MW.

Secara kewilayahan, kapasitas terpasang PLTP paling besar berada di Pulau Jawa mencapai 1.253,8 MW. Sementara itu, Sumatra berada di urutan kedua, yakni 789,4 MW meski memiliki potensi lebih besar dibandingkan dengan Jawa.

Dari total pembangkit, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) mengelola 15 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Adapun, kapasitas terpasang WKP yang dikelola PGE sebesar 1.877 MW. 672 MW di antaranya dioperasikan sendiri, sedangkan 1.205 MW lainnya melalui Kontrak Operasi Bersama.

Kapasitas tersebut setara dengan penggunaan 88.752 barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/BOEPD), serta dapat menyalurkan listrik kepada 2.085.000 rumah.

Keberanian PGE bukan tanpa alasan. Pasalnya, pasokan energi dari panas bumi sangat terjamin karena mengandalkan energi bawah tanah. Selain itu, geothermal hampir tidak menghasilkan emisi karbon ke udara. Keunggulan lainnya adalah tidak dipengaruhi oleh faktor cuaca.

“Panas bumi supply-nya terjamin. Bahkan dia tidak tergantung cuaca, kapanpun. Walaupun angin, hujan, panas tetap akan terjaga, sekalipun gempa,” kata Manager Government Public Relations PT Pertamina Geothermal Energy Sentot Yulianugroho.

PGE, bagian dari Subholding Power New Renewable Energy Pertamina ini menargetkan penambahan kapasitas pembangkit panas bumi menjadi 1.500 MW pada 2030. Perusahaan juga membidik target perolehan pendapatan US$1 miliar pada 2030.

“Harapannya, kami bisa berpartisipasi dalam penurunan emisi lebih dari 8 juta ton per tahun,” kata Direktur Utama PGE Ahmad Subarkah Yurianto.

 

INVESTASI BESAR

Setidaknya dua keunggulan energi panas bumi. Ketersediaan yang melimpah dan menjadi pembangkit rendah emisi. Meski begitu, masih terdapat kendala dalam pengemgangan potensi ini, yakni memelukan investasi dengan nilai tidak sedikit.

Investasi pada pengembangan energi panas bumi berada di kisaran US$4 juta–US$5 juta per MW. Artinya, pembangunan 1 MW energi panas bumi memerlukan modal Rp50 miliar–Rp70 miliar. Dari jumlah ini, tahapan pengeboran atau drilling memakan ongkos paling besar.

Vice Chairman Jakarta Drilling Society Ashadi menuturkan, biaya untuk tahapan drilling mencapai 40 persen dari total investasi. Kondisi itu akhirnya membuat para pengembang harus memastikan potensi panas bumi di satu titik dengan sangat matang.

Selain itu, beban infrastruktur turut berkontribusi sekitar 10–15 persen dari total kebutuhan. Belum lagi biaya peralatan hingga manajemen proyek yang juga masuk dalam investasi.

“Bangun 10 MW kurang lebih [memerlukan investasi] US$40 juta dolar. Ini data sebelumnya. Namun dengan ada economies of scale tentu cost of manufacturing jadi lebih murah, bisa ditekan menjadi US$3 juta–US$4 juta per MW.”

Chairman Jakarta Drilling Society Yudi Hartono menerangkan bahwa drilling cost berkisar antara 30–60 persen dari kebutuhan biaya keseluruhan proyek geothermal. “Biayanya US$60.000–US$80.000 per hari. Biaya pengeboran di setiap lapangan geothermal bisa US$1,8 juta–US$11 juta,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono menerangkan, ada sejumlah kendala utama dalam pengembangan energi baru terbarukan ini. Beberapa di antaranya adalah risiko tinggi, padat modal, serta lokasi panas bumi jauh dari lokasi pengguna listrik.

“Kenyataannya, kapasitas daya terpasang kurang dari 10 persen. Risiko dalam eksplorasi ini masih berkisar 90 persen,” terangnya.

Pemerintah pun menggeber pengembangan energi panas bumi lewat pemberian sejumlah insentif fiskal dan geothermal fund untuk memitigasi risiko hulu. Selain itu, kementerian juga menetapkan Flores sebagai ikon geothermal untuk mendongkrak pengembangan EBT tersebut.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai bahwa insentif fiskal diperlukan lantaran proyek pengembangan panas bumi memiliki tingkat risiko tinggi.

Menurutnya, seluruh fiskal insentif selama ini diterima para pengembang dengan cukup baik. Meski begitu dia mendorong insentif lebih besar dengan memperhatikan sejumlah permasalahan di lapangan. 

“Dari sisi investor kita juga memikirkan uangnya [keekonomian]. Kalau kami eksplorasi, operasi itu membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan itu juga memengaruhi keekonomian sebuah lapangan. Bagaimana pemerintah membantu akses, sosial, dan pembebasan lahan,” katanya.

Bagaimanapun, potensi besar yang dimiliki panas bumi tidak dibiarkan begitu saja. PLTP juga masuk rencana pengembangan pembangkit EBT ketiga terbesar dalam 10 tahun ke depan setelah PLTA dan PLTS. Namun bagaimana realisasinya? KIta nantikan saja.

 

Author: Rayful Mudassir | Editor : Lili Sunardi

Source: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211007/44/1451571/menilik-potensi-besar-energi-panas-bumi-indonesia